MELAK, SURGA DURIAN DAN CEMPEDAK

Dari segala jenis musim yang ada di Indonesia, saya paling suka musim durian dan cempedak. Dua buah ini tiba-tiba melimpah ruah dengan harga yang sangat terjangkau. Di Samarinda sendiri, musim durian selalu dimulai sejak awal tahun. Ditandai dengan hadirnya om penjual durian di sepanjang jalan dengan mobil pick up yang berisi berbagai ukuran. Durian paling terkenal adalah jenis montong dan durian melak. Kalau montong pasti semua sudah tahu bagaimana kualitas dan cita rasa durian ini. Sedangkan durian melak yang berasal dari daerah Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur, punya ukuran sedang dengan daging buah yang legit dan aroma tidak menusuk tajam. 

Betapa beruntungnya saya pernah berkunjung ke Melak dan makan durian yang berjatuhan dari pohon. Ketika musim panen tiba, buah berduri ini akan melimpah ruah. Saking banyaknya, di daerah asalnya, durian tidak dijual. Hanya di pajang di depan rumah dan dipersilakan bagi siapapun untuk mengambil dengan percuma alias gratis. Awalnya saya tidak percaya dengan cerita teman yang mengatakan bahwa satu karung durian cuma dihargai lima ribu rupiah. Sebab bila sudah dibawa ke kota, harganya sekitar sepuluh ribu hingga lima belas ribu per buah untuk ukuran kecil. Bertambah kaget saya, ternyata durian di Melak malah dibiarkan jatuh dan tidak diperjualbelikan sama sekali. Hancur rasanya hati saya sebagai penggemar berat durian. Tapi kejadian ini hanya terjadi bila sudah musim durian saja ya. Kalau tidak musim, ya harga durian menjadi mahal.

Ketika berkunjung ke Kutai Barat pada tahun 2018, berburu durian dan cempedak adalah hal yang wajib dilakukan. Selain itu, kami akan mengunjungi beberapa jantur (air terjun) yang terkenal di Kubar (Kutai Barat). Untuk mencapai kota Melak, kami menempuh perjalanan darat dari Samarinda selama 8-9 jam. Berangkat dari jam 4 sore dan sampai sekitar jam setengah satu malam. Begitu sampai di rumah teman tempat kami menginap, langsung disuguhi durian yang katanya baru saja jatuh tadi sore. Buahnya kecil saja, tapi dagingnya tebal dan hampir tidak ada bijinya. Saya dan rombongan bersorak senang, tengah malam menyantap durian tanpa pikir panjang. Padahal sepanjang perjalanan, saya mabuk darat dan hampir muntah. Biasanya bau menyengat dari durian malah membuat asam lambung naik, tapi saking cintanya pada buah satu ini, saya rebutan makan dengan yang lain.

Paginya, kembali kami disuguhi buah durian yang terlalu masak. Oleh si tuan rumah, diolah dengan sambal terasi dan disantap dengan nasi panas. Sarapan sambal durian. Luar biasa enak. Rasa duriannya tetap terasa tapi baunya hilang sama sekali.

Benar-benar surga durian. Sebab, sepanjang perjalanan menuju jantur, hanya barisan pohon durian yang kami lihat di pekarangan rumah masyarakat. Menurut saran teman saya yang tinggal di sana, kalau mau membeli durian yang murah, masuk saja ke daerah yang lebih dalam. Biasanya mereka menjual durian untuk membersihkan halaman rumah yang penuh durian berjatuhan, karena sudah bosan dimakan, dan dibagi ke tetangga juga tidak mungkin, maka buah itu dipajang seadaanya di depan rumah, bukan untuk dijual lagi oleh penjual buah di kota.

Benar saja, makin masuk ke perkampungan yang sepi, kami temukan penduduk yang menjajahkan durian dari halamannya. Saya yang ikutan tim hore, membantu memilih durian yang bagus. Ada yang menego harga sambil memilih yang ukurannya besar untuk dijadikan oleh-oleh keluarga di Samarinda. Sambil memilih dan terus diajak ngobrol oleh penjualnya, kami juga sibuk menyantap tester durian. Bukan cuma satu ya, tapi dua tiga bahkan lima buah ukuran sedang yang dijadikan tester. Teman-teman membeli 3 karung durian dengan berbagai ukuran. Total kami mengangkut 4 karung beserta bonus durian ukuran kecil, karena mau berlama-lama diajak ngobrol oleh penjual tadi.

Saya sendiri memang tidak berniat membawa oleh-oleh durian karena tidak ada orang rumah yang suka. Niat saya mau mencari cempedak ukuran super besar. Bukan daging buahnya yang saya incar, tapi kulit dari cempedak. Fyi, di Kalimantan ada panganan bernama mandai berbahan utama kulit cempedak yang difermentasikan dalam larutan garam selama berhari-hari. Kulit cempedak kemudian bisa diolah sebagai tumisan atau langsung digoreng kering. Rasanya endulita, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Makan mandai goreng dengan sepiring nasi panas, bisa bikin lupa dunia, hahaha. Saya mungkin berlebihan, tapi saya harap pembaca bisa mencoba mandai yang teksturnya mirip daging.

Perjalanan kami di Melak hanya sebentar saja, mengunjungi kawan lama saat kuliah, mengunjungi jantur, lalu pulang dengan berkarung-karung durian, cempedak dan rambutan. Bukan main bau di dalam mobil, semuanya sangat menyengat dan membuat saya mual berkali-kali lipat dalam perjalanan kembali ke Samarinda.

Melak, Barong Tongkok, Sendawar dan sekitarnya, akan selalu menjadi tempat traveling yang berkesan karena durian kegemaran saya berlimpah di sana.



Salam, 

Dari si Hitam Manis.



Tulisan ini diikutsertakan dalam 30 Days Writing Challenge Sahabat Hosting.



Komentar

Posting Komentar